Kamis, 01 November 2012

Undang - Undang Cyber Crime di Indonesia



Pemerintah Indonesia telah menetapkan undang-undang khusus yang mengatur masalah cybercrime yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pemerintah merasa perlu membuat UU yang mengatur cybercrime termasuk di dalamnya adalah bentuk kejahatan cyber sabotage karena ketidakmampuan sistem hukum nasional dalam menanggulangi permasalahan cybercrime di dalam negeri. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan KUHP dan KUHAP sebagai induk dari aturan hukum pidana dan acara pidana masih belum mampu menanggulangi kejahatan di dunia cyber yang terkait dengan tindak pidana yang baru.

Sanksi Pidana Kejahatan Cyber Sabotage
Penyerangan terhadap sistem komputer dapat dilakukan seseorang tanpa harus menerobos masuk ke dalamnya. Ia dengan mudah dapat merusak, mencuri atau mengintip data, program maupun sistem tanpa harus melanggar hukum yang melarangnya mengakses satu sistem tanpa izin. Ini dilakukan dengan menciptakan suatu program penyerang.
Inilah yang dikenal dengan virus, worm atau Trojan. Kerap kali serangan dengan program justru lebih fatal akibatnya dibandingkan dengan serangan langsung. Ini karena program penyerang tersebut mampu menggandakan diri secara otomatis, menginfeksi sistem jaringan dan menyebar dengan cepat melalui jaringan internet. Serangan virus atau worm sampai hari ini masih menjadi problem masalah utama para pakar keamanan jaringan. Dan problem ini tidak akan pernah ada habisnya.
Oleh karena itu UU ITE mengantisipasi perbuatan pengganguan melalui cara seperti ini dengan merumuskannya dalam Pasal 33 yang menentukan :
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Dalam hal sanksi pidana terhadap Pasal 33 ditentukan oleh Pasal 49 yang menetukan :
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dalam pasal 33 ini menjelaskan bahwa yang menjadi sasaran adalah sistem elektronik juga harus diperhatikan bahwa akibat tindakan tersebut yang berupa terganggunya sistem elektronik yang menjadi sasarannya, haruslah terjadi. Konsekuensi yang demikian itu adalah karena tindak pidana dalam pasal ini dirumuskan sebagai tindak pidana materiil. Artinya, hanya dapat dipidana apabila akibat perbuatan pelaku telah terjadi. Di dalam praktek, gangguan yang terjadi terhadap sistem elektronik itu adalah berupa tidak bekerjanya atau berfungsinya sistem elektronik tersebut sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar